NGGA MAKAN JIKA BUKAN MAKAN NASI

Sering sekali kita mendengar sesama saling bercanda,”Belum makan rasanya jika belum makan nasi.” Terdengar lucu memang, tapi begitulah rata-rata masyarakat kita yang terbiasa dengan nasi. Bahkan pada sebagian orang menjadi ketergantungan sangat tinggi.

Pada kasus sebagian orang, tidak hanya terjadi pada nasi. Melainkan spesifik kepada masakan tradisional Indonesia. Bukannya tidak suka pada masakan asing, atau masakan Indonesia kontemporer, namun rasanya lidah dan perut ini tidak terpuaskan jika belum makan makanan khas Indonesia.

Saya mengalami masa-masa sulit saat mengunjungi Mekkah untuk ibadah haji tahun 2007. Penyebabnya bukan semata karena masalah nasi atau masakan khas Indonesia. Saya memang punya masalah dalam makanan secara umum, dan biasanya saya tidak gegabah makan segalanya. Namun sebaliknya saya tidak bermasalah hanya mengkonsumsi roti tawar, atau biskuit, atau buah-buahan polos sepanjang hari. Bagi saya makanan seadanya tersebut lebih menyenangkan dibanding beberapa menu masakan tradisional Indonesia lainnya.
Ada kalanya jamaah haji menerima nasi kotak, dengan lauk-pauknya, sebelum keberangkatan menuju Arab Saudi. Pada tahap ini umumnya saya baik-baik saja, alias tanpa masalah. Begitu pula dengan rekan-rekan sesama jamaah lain. Sejak di asrama haji hingga terminal keberangkatan.

Keadaan mulai berbeda saat jadwal perjalanan tidak sinkron dengan jadwal makan. Saya mengalami jadwal keberangkatan dari bandara Soekarno Hatta pukul 04.30 WIB. Banyak penumpang tidak terbiasa dengan makanan khas pesawat terbang. Perjalanan udara sendiri mencapai 10 jam. Harap diingat terbang dengan pesawat adalah pengalaman pertama bagi banyak jamaah. Sesampainya di Jeddah hanya kue kotak yang tersaji bagi jamaah dan saat itu pk 12.00 WAS.

Makanan dalam arti selengkapnya baru kami nikmati sekitar pk 15.30 WAS sesampainya di hotel, setelah semua urusan tentang pembagian kamar dan koper sudah rampung. Alhamdulillah saya dan istri melewati perjalanan sejak Jakarta hingga tiba di hotel di kota Mekkah dengan selamat, termasuk selamat dalam mengikuti jadwal dan selera makanan yang tidak menentu.
Beberapa pengalaman kuliner masih dialami para jamaah. Kloter rombongan kami memilih untuk tidak memesan makanan prasmanan atau nasi kotak selama di kota Mekkah. Artinya kami bebas makan di mana saja. Berbeda dengan teman-teman saya di kloter/ maktab lain, mereka memilih untuk prasmanan masakan Indonesia. Terdengar praktis namun sesungguhnya tidak seindah itu.

Banyak jamaah asal Indonesia memimpikan nikmatnya masakan khas asal kampung di Arab Saudi. Biar bagaimanapun, sulit untuk menemukan cita rasa seperti di kampung halaman. Selalu ada yang kurang, bahkan jika menu nya sekedar ikan atau ayam goreng. Wajar sebenarnya karena keterbatasan bahan baku berupa rempah-rempah. Meski demikian ketersediaan makanan secara tepat waktu dan sehat wajib disyukuri. Pemerintah Indonesia, melalui Muashashah Asia Tenggara, sudah berupaya maksimal.

Umumnya di sekitar pemukiman jamaah Indonesia mudah ditemukan restoran atau warung nasi masakan Indonesia. Sudah pasti pengunjungnya ramai. Menu yang disediakan termasuk lazim kita temukan di warung nasi manapun di Tanah Air. Hanya saja, sekali lagi, jangan menuntut terlalu tinggi akan rasa. Harga per menu pun termasuk lumayan mahal. Tapi demi mendapatkan makanan khas Indonesia, bolehlah berkorban uang saku kita.

Makanan khas Indonesia yang lebih spesifik juga dapat dijumpai, seperti mie baso, sate ayam, soto ayam, dll. Sama seperti makanan yang lain, rasanya cukuplah. Harganya? Tentu saja termasuk mahal, jika dibandingkan dengan lazimnya di Indonesia.

Saya sendiri tidak terlalu menggantungkan selera pada masakan Indonesia, yang disajikan oleh para tenaga kerja Indonesia ini. Kebetulan saya petualang makan (meski umumnya saya sering bermasalah dengan cuka dan cabai merah) dan saya lebih sering menyambangi restoran Turki dan Timur Tengah. Menurut saya rasanya jauh lebih enak dibanding yang serupa sering ditemukan di kota-kota besar Indonesia. Harganya pun jauh lebih mahal. Restoran Turki contohnya, sepiring nasi dengan lauk-pauknya bisa sekitar SAR 25 (lebih dari Rp 50.000,-). Namun sebuah roti swarma (populer di Indonesia sebagai roti kebab) cukup murah, sekitar SAR 5. Lebih enak dibanding yang biasa saya makan di Doner Kebab atau Baba Rafi.

Masakan Timur Tengah yang umum dikenal di Indonesia adalah nasi samin yang penuh lemak. Nasi seperti ini khas Arab Saudi, Kuwait, dan Yaman. Mudah ditemukan di Mekkah dan Madinah, meski harganya cukup mahal karena satu porsi setara dengan jatah makan 5-6 orang. Saya sendiri lebih menyukai masakan Lebanon yang tidak terlalu banyak minyak, dan lebih banyak rempah.

Masakan Eropa dan Amerika (fast food tepatnya) mudah ditemukan juga. Namun yang paling berkesan adalah Al Baik, sebuah fast food ayam goreng tepung yang konon dimiliki oleh pengusaha asal Palestina. Nyaris selalu penuh, siang dan malam. Biasanya Al Baik menyediakan dua ruangan untuk pelanggannya: satu sisi khusus untuk perempuan dan anak-anak (dengan ruang makan bertirai/ gorden), sedangkan satu sisi lain khusus untuk laki-laki. Tidak boleh bercampur. Al Baik juga membuka outlet sementara di Mina, namun seingat saya tidak menyediakan ruang khusus untuk perempuan. Oya untuk restoran lainpun, perhatikan baik-baik antrian kasir. Biasanya dibedakan khusus wanita dan khusus pria. Jika seperti ini artinya hanya wanita dan anak-anak yang boleh makan di tempat. Pria harus bungkus makanan.
Bagi jamaah yang ingin membeli makanan dalam kemasan juga tersedia di berbagai mini market dan supermarket. Harga tentu saja bervariasi, namun pilihannya banyak. Mie instan asal Indonesia juga terdapat di sana, dengan rasa yang bervariasi khas Timur Tengah.

Satu hal pasti, mengingat cuaca yang tidak menentu, sebaiknya jamaah lebih sering mengkonsumsi buah-buahan dan air zam-zam. Memang sering jamaah mendapat sari buah dalam kemasan, namun saya kurang rekomen. Jika ingin sari buah, bisa membeli produk yang lebih meyakinkan di mini market dengan harga SAR 1 hingga 2.

Selama prosesi Arafah-Muzdalifah-Mina, dipastikan jadwal makan dan istirahat tak menentu. Kondisi ini sangat tergantung pada jadwal keberangkatan berpindah tempat, jadwal melempar jumrah, dan jadwal lainnya. Saya pernah mengalami jadwal makan siang terpaksa harus dilewati karena bersamaan dengan keberangkatan bus kembali ke Mekkah.

Bukankah makanannya bisa dibungkus dan dimakan di perjalanan? Tidak sesederhana itu.
Selama Arafah-Muzdalifah-Mina, setiap kloter mendapatkan satu meja layanan dengan deretan sajian prasmanan. Makanan disajikan dalam sebuah styrofoam terbuka (tanpa tutup) dan sulit untuk dibawa dalam perjalanan. Lebih parah lagi, karena hanya ada satu meja layanan untuk setiap kloter, dapat dibayangkan panjangnya antrian makan. Jika satu kloter terdiri dari 450 orang, dengan rata-rata 3 menit setiap orang, dapat dihitung waktu antrian. Saya sendiri memilih untuk makan roti dan buah-buahan saja, jika antrian panjang. Beruntung saya tak punya masalah dengan roti polos, dan banyak jamaah yang tidak tertarik dengannya. Jadilah saya penadah roti polos selama prosesi Arafah hingga Mina.

Saya hanya bisa menyarankan kepada rekan-rekan yang akan berangkat haji untuk mulai membiasakan diri makan apa adanya. Jangan menuntut atau mengeluh jika makanannya tidak sesuai selera. Makan saja apa yang ada, yang penting halal, bersih, dan sehat. Mengharapkan rasa makanan persis di Tanah Air sebenarnya mustahil. Selain itu ibadah haji adalah perjalanan penuh cobaan. Semakin kuat jamaah menerima cobaan (termasuk makanan yang ngga sesuai selera) dapat menambah lapisan iman dan taqwa. Anda masih beruntung dapat menikmati makanan 3x sehari. Banyak jamaah negara lain tidak punya kemewahan seperti itu.

Semoga perjalanan haji Anda mabrur, bahkan hingga bertahun-tahun setelah kembali dari Arafah.

Komentar

Postingan Populer