IBADAH HORIZONTAL

Sering tertanam bahwa manusia diwajibkan melaksanakan ibadah kepada Penciptanya. Ibadah yang dimaksud sering disebut sebagai ibadah vertikal. Kenapa vertikal? Karena pemahaman yang mudah adalah Sang Pencipta berada/ berlokasi di atas manusia. Entah di langit, di atas kepala. Intinya berada di atas.

Sering pula manusia lebih banyak menghabiskan ibadah secara vertikal ini, dan melupakan bahwa ada ibadah lain yang tidak vertikal. Maksudnya adalah ibadah horizontal. Dahulu kala, seorang sahabat pada zaman Rasulallah sering menghabiskan waktunya beribadah di masjid (kemungkinan besar masjid Nabawi Madinah). Ibadah vertikal tentunya, dan nyaris tidak pernah pulang. Hingga tiba suatu saat sang istri sahabat tersebut datang kepada Rasulallah dan mengadukan ibadah suaminya tersebut. Pada kesempatan ini lahir suatu hadits, yang tergolong populer hingga masa kini, yang isinya kira-kira,”Dalam sebagian dirimu ada hak bagi orang sekitarmu.”

Kira-kira begitu bunyinya. Tepatnya bagaimana saya tidak begitu ingat. Inti dari hadits tsb adalah bahwa selain beribadah kepada Sang Pencipta (vertikal), manusia juga harus mengimbanginya dengan ibadah horizontal (sesamanya). Bisa kepada anggota keluarga, bisa kepada masyarakat.

Saya pernah berada dalam beberapa kesempatan ketika ibadah horizontal ini tampak mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. Begini ceritanya.....

Alhamdulillah saya sempat mengunjungi Baitullah untuk menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu. Seperti sebagian orang lakukan, saya (bersama istri waktu itu) berangkat menggunakan jalur haji reguler. Artinya mengikuti paket haji normal sesuai dengan yang dikelola oleh Pemerintah. Bukan paket haji plus, meski saat itu kami mengikuti bimbingan sebuah Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Maksudnya: rombongan kami tidak reguler murni dan tidak murni mandiri.

Ada kalanya kami lupa, entah disadari atau tidak, untuk beribadah secara horizontal yaitu kepada sesama anggota rombongan. Padahal prosesi haji tidak hanya urusan para jamaah dengan Penciptanya, melainkan juga kepada sesamanya. Misalkan saja demi dapat tawwaf sedekat mungkin dengan Ka’bah, atau ingin memegang/ mencium Hajar Aswad (batu yang diletakkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail saat membangun Ka’bah), sering kami bersemangat dan tanpa disadari menyakiti sesama jamaah. Entah mendorong, menyikut, menginjak, bahkan menabrak. Sudah berita umum kita mendengar seorang jamaah meninggal dunia akibat terinjak-injak atau sesak kehabisan nafas. Apakah ibadah kita masih bernilai agung ketika dalam melaksanakannya menyakiti sesama saudara lain?

Ada kalanya kami tiba bersama-sama, dalam suatu rombongan. Tua-muda, laki-perempuan. Sebagai jamaah asing, banyak di antara kami yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan. Termasuk di antaranya menghafalkan jalan pulang ke penginapan. Usai ibadah wajib, sering kami tidak sabar menanti anggota rombongan bergabung untuk pulang bersama. Kadang anggota rombongan memilih untuk melanjutkan ibadah, tanpa memberitahukan sebelumnya. Akibatnya rekan lainnya menunggu, dan berakhir dengan hati kesal.

Toleransi dan tenggang rasa menjadi suatu kewajiban. Mungkin tidak terbayang sebelumnya, akan tinggal dalam sebuah kamar dengan sesama laki-laki, atau perempuan, selama 40 hari. Praktis di antara ‘saudara’ sekamar baru saling mengenal. Tentunya, dan ini yang sering tidak disadari, masing-masing memiliki karakter unik. Friksi di antara room mate tidak terhindarkan, dan seyogyanya semua harus saling memahami, toleransi, dan tenggang rasa.
Bayangkan jika sebagian terbiasa tidur dengan lampu menyala, sementara yang lain tidak. Sebagian terbiasa tidur dengan udara sejuk, sementara yang lain tidak tahan. Sebagian terbiasa membereskan ranjang sendiri agar rapi, sebagian tak pernah merapikannya. Sebagian terbiasa merokok di dalam kamar, sebagian lain bisa pingsan jika ada asap rokok dalam kamar. Sebagian berbelanja hingga lupa waktu, sementara seluruh rekannya menanti di dalam bus (yang tak bisa berangkat sebelum penumpangnya lengkap).

Saya pernah mendapati sebagian rekan memonopoli mesin cuci di waktu pagi, agar pakaian/ jemurannya kering di sore hari. Siapa sih yang mau mencuci di malam hari atau sore hari? Semua ingin mencuci di sekitar pk 08.00-10.00 WAS, agar dapat beribadah tenang dan tidak memikirkan cucian baju yang menumpuk. Tapi di saat seperti ini semua orang dituntut untuk berbesar hati dan saling bergilir mencuci pakaian di waktu prime-time.
Kita belum sampai pada kebiasaan pribadi lain seperti...tidur mendengkur.

*sigh* ibadah horizontal ternyata berat juga ya.....

Komentar

Postingan Populer