MASJIDIL HARAM AKAN DIBONGKAR?

Baru-baru ini seorang ulama Arab Saudi mengusulkan agar Masjidil Haram dibongkar dan kemudian dibangun kembali. Tujuan utamanya untuk mengelola arus jamaah laki-laki dan perempuan yang beribadah. Bagi mereka yang pernah melaksanakan ibadah haji atau pergi umrah, tentunya terbayang hiruk-pikuknya suasana tawwaf seputar Ka’bah, sa’i di lintasan Shafa-Marwah, dan suasana shalat di Masjidil Haram.

Usul tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa jamaah laki-laki dan perempuan kerap berbaur, baik saat tawwaf, sa’i maupun shalat. Keduanya kerap bersinggungan terutama saat tawwaf. Beriring-iringan, berdesak-desakan sudah menjadi pemandangan umum saat tawwaf seputar Ka’bah. Seorang suami menggandeng istrinya, seorang ayah menjaga putrinya, seorang anak menggamit orang tuanya. Mereka semua berada dalam lautan manusia. Suasana sa’i tidak jauh berbeda.

Di dalam Masjidil Haram kerap kita melihat suami-istri, ayah-putri, ibu-putra duduk shalat berdampingan. Atau sekelompok laki-laki duduk tidak jauh dari sekelompok perempuan. Atau sekelompok laki-laki duduk di belakang sekelompok perempuan.
Ada pendapat dari beberapa mazhab yang menganggap sentuhan kulit di antara kedua kelompok membatalkan wudhu. Ada mazhab yang memberi kelonggaran, terutama saat tawwaf dan sa’i, karena pertimbangan kondisi. Rupanya kondisi tsb sudah berlangsung sejak berabad lampau.

Saya bukanlah seorang ulama, bahkan ilmu agama pun jauh dari sempurna. Saya hanya ingin melihat permasalahan ini dari sudut pandang orang awam.

Di saat haji, terutama pada beberapa hari setelah Arafah dan Mina, semua jamaah melakukan tawwaf dan sa’i untuk menyempurnakan prosesi haji. Pemotongan rambut, atau minimal tiga helai rambut, sebagai tanda usai prosesi haji dan boleh melakukan semua larangan ihram. Bisa dibayangkan penuhnya Masjidil Haram di hari-hari setelah Mina. Persinggungan antara laki-laki dan perempuan tidak terhindarkan, dan semua orang ingin tawwaf sedekat mungkin dengan Ka’bah. Memang benar Masjidil Haram menyediakan lantai dua dan tiga, untuk memecah konsentrasi kepadatan tawwaf. Tapi magnet Ka’bah sedemikian kuat sehingga setiap jamaah akan berusaha keras dapat tawwaf di lantai satu dan sedekat mungkin dengan Ka’bah. Apalagi saat shalat, semuanya ingin sedekat mungkin dengan Ka’bah. Selama ini seorang Muslim di rumahnya, yang lokasinya ribuan kilometer dari Mekkah, hanya menghadapkan shalatnya kepada arah kiblat (posisi Ka’bah) dan mungkin seumur hidupnya belum pernah melihat Ka’bah secara langsung. Adalah kekuatan hati yang membuat seseorang sangat mencintai Ka’bah. Padahal bentuknya hanyalah sebuah kubus besar tinggi. Tapi ia mempunyai makna bagi semua Muslim.

Kekuatan itulah yang membuat pengaturan jamaah di dalam Masjidil Haram serba salah. Semua orang ingin shalat di depan Ka’bah. Sedekat mungkin. Nggada yang pengen jauh. Apalagi di luar, di pekarangan Masjidil Haram.

Memang benar ada banyak petugas keamanan, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka biasa disebut Askar. Tapi mereka tak mampu mengatur jutaan jamaah, karena jutaan jamaah ini sulit mengatur dirinya. Ketertiban hanya bisa terjadi di ruang sisi terjauh dari Ka’bah, dimana lokasi laki-laki dan perempuan dipisahkan. Tapi semakin mendekati Ka’bah? Semakin kacau balau.
Bisa saja alasannya adalah takut terpisah dan tersesat. Bisa dimaklumi sih. Melihat lautan jutaan manusia membuat nyali ciut. Sudah berita setiap hari ada jamaah tersesat, terpisah, tidak tahu jalan pulang, dll. Ibadah berdampingan adalah solusi paling praktis agar tidak terpisah dan dapat pulang dengan aman. Tapi konsekuensinya tempat laki-laki dan perempuan tercampur.
Ulama Arab Saudi tersebut (saya lupa namanya, dicari di sumber beritanya koq ngga nemu) berdalih bahwa dahulu Masjidil Haram pernah dibongkar untuk perluasan. Artinya saat inipun bisa dilakukan pembongkaran serupa.

Meski tujuan ulama ini baik, tapi tidak realistis dan tepat sasaran. Masalah utamanya ada pada pengelolaan/ pengaturan jamaah, walau benar penataan ruang bagian dalam Masjidil Haram ikut berperan. Mungkin akan lebih teratur jika desain Masjidil Haram berbentuk oval atau lingkaran seperti stadion utama Senayan.

Yang paling tepat disampaikan oleh pengelola Masjidil Haram adalah sosialisasi dan pelarangan agar ketertiban tercipta. Sampaikan secara estafet kepada para jamaah atau pemimpinnya, serta lakukan secara tegas kepada pelanggar. Tidak perlu Masjidil Haram dibongkar.

Komentar

Anonim mengatakan…
Makalah yg menarik mas.
Saya ingin berkomentar sedikit.

Selain masalah kepadatan para jemaah haji yang meningkat, juga masalah tarbiah atau pendidikan ilmu syar'i. Tidak ada yg bisa mengatur manusia kecuali aturan syar'i yg datang dari Allah Subhanahuwata'ala sendiri.

Misal perihal bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Yang benar berdasarkan dalil Al Qur'an dan Hadits menurut pemahaman kesepakatan para sahabat / ulama terdahulu. Bersentuhan kulit dengan lain jenis tidak membatalkan wudhu. Tapi bersentuhan kulit secara sengaja hukumnya haram. Jadi wudhu tidak batal, tapi si fulan terkena dosa haram tersebut. Namun jika tidak sengaja, maka tidak mengapa.

Perihal aturan beribadah adalah tanggung jawab tuan rumah atau pengurus ka'bah dan masjidil haram atau tepatnya ulil amri / pemerintah sana. Jika dimaksudkan untuk ketertiban, maka lebih benar dibanding benar2 untuk menghancurkan. Memang benar, perluasan masjidil haram pernah terjadi. Sy pernah baca sejarah sahihnya.

Yang lebih penting lagi, sebaiknya kita orang islam jangan puas dalam kondisi awam terus. Menuntut ilmu syar'i itu wajib bagi setiap muslim. Yang tahu memberi tahu, yang tidak tahu harus mencari dan bertanya kepada ahlinya.

:)
Abu Risal, Pancoran, Jaksel

Postingan Populer