JALAN DAMAI KEBEBASAN BERAGAMA

Pada harian Kompas (19/4/2010) terdapat suatu ulasan buku berjudul Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (Penerbit Kanisius, 2010) yang aslinya berjudul Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Awalnya buku ini diterbitkan oleh The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief (2004) untuk memperingati 20 tahun Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Tujuan penerbitan buku ini memberikan panduan atau referensi bagi siapa pun yang peduli terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan (Kompas, 19 April 2010, halaman 36). Saya mengomentari buku dan artikel ini murni dari apa yang ditulis dalam artikel tsb. Belum baca bukunya.
Ada paragraf yang menarik dimana konon Nicola Colbran (mungkin salah satu penulis dalam buku ini) mengomentari berbagai fenomena, peristiwa, insiden, atau mungkin kasus kebebasan beragama di Indonesia. Penulis ini merujuk kepada beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, seperti UU no. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, yang menjadi penyebab kematian ratusan aliran kecepercayaan. Lalu, UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang dalam pelaksanaannya masih dirasakan tidak adil terhadap mereka yang bukan pemeluk “agama resmi” atau “diakui negara”. Demikian pula terkait peraturan tentang pendirian rumah ibadat, yang mempersulit kelompok agama minoritas atau penghayat kepercayaan dalam membangun tempat ibadat. Peraturan hukum lain yang menurut Colbran juga banyak memakan korban adalah Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait masalah penodaan terhadap agama. Menurut dia, pasal tersebut tak sejalan dengan UUD 1945 dan legalisasi dasar HAM.
Masih ada pula paragraf tentang shalat dwi bahasa (Arab dan Indonesia) dan organisasi keagamaan Ahmadiyah. Saya sependapat tentang aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok masyarakat terhadap kelompok lain. Seharusnya tidak boleh ada tindak kekerasan.
Saya yakin, dan tugas saya berikutnya adalah membaca lengkap buku ini untuk mendapatkan gambaran utuh, bahwa penulis tsb kurang paham tentang prinsip dasar tentang pokok-pokok masalah yang dia utarakan. Dalam kasus ini saya menyoroti komentarnya terhadap kasus-kasus yang dikategorikan penodaan agama yang kebetulan saya peluk, yaitu Islam. Saya tidak tahu isi tulisan para penulis lainnya dalam buku ini.
Saya pribadi berpendapat bahwa konsep yang benar adalah kebebasan melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Perkara seorang individu memilih keyakinan dan kepercayaannya, itu mutlak hak asasinya. Saya percaya konsep dasar hak asasi manusia adalah ini.
Namun saat kita menyentuh wilayah penodaan agama, urusannya menjadi berbeda. Saya menolak untuk mengomentari agama selain Islam, karena saya tidak kompeten. Ketika pembicaraan menyentuh wilayah Islam, saya berkewajiban untuk ikut berjuang dengan lidah (dalam hal ini tulisan) menegakkan agama yang saya anut.
Kasus Ahmadiyah menurut saya tepat diambil tindakan sebagaimana yang negara telah lakukan, yaitu merujuk pada penodaan agama. Dasar yang paling prinsip dalam Islam adalah mengakui Tuhan yang satu, dan Muhammad adalah rasul-Nya. Artinya tidak mengakui Tuhan yang lain, ataupun rasul yang lain, serta percaya penuh tanpa syarat. Ketika Ahmadiyah menyatakan diri sebagai bagian dari Islam dan mengakui tokoh pendirinya sebagai rasul setelah Muhammad, tidak dapat diargumentasi bahwa kelompok tersebut melakukan penodaan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah melakukan tindakan yang benar dengan menyatakan kelompok ini sebagai aliran sesat. Kenapa sesat? Karena memberikan ajaran yang tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam, dan mengarahkan penganutnya ke jalan yang berbeda.
Kasusnya akan berbeda jika Ahmadiyah berdiri sebagai suatu kepercayaan, agama sendiri (tidak merujuk kemana pun), serta tidak menjadikan kitab suci agama lain sebagai pegangannya. Jika mereka menyatakan diri sebagai agama tersendiri, saya yakin MUI tidak akan menyatakan mereka menodai agama Islam dan negara pun tidak akan mengambil keputusan serupa. Meski demikian, saya setuju bahwa negara seharusnya bisa mengambil tindakan tegas pada segala macam tindakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah.
Apa yang dilakukan kelompok Ahmadiyah adalah murni penodaan agama, dan seharusnya semua umat Muslim setuju dengan pendapat saya. Jika ada yang tidak sependapat, hendaklah untuk kembali memahami dua kalimat syahadat. Insya Allah pemahaman kita akan sama. Adalah kewajiban semua umat Muslim untuk menjaga kemurnian Islam.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa apa yang dilakukan pendiri Ahmadiyah tidak berbeda dengan para Imam yang kita kenal dengan mazhab. Sepanjang pengetahuan saya, para Imam tersebut hanya menasfirkan perihal hukum agama dan aplikasinya. Bukan masalah-masalah prinsipil. CMIIW.
Kasus berikutnya adalah shalat dwi bahasa. Terdengar sepele, karena argumen dasarnya bisa saja untuk membantu pengikut yang kurang paham bahasa Qur’an (oya, bahasa Qur’an itu berbeda dengan bahasa Arab, meski mirip-mirip). Jika bukan sejak Rasulallah hidup, maka setidaknya sejak masa khalifah Utsman bin Affan pemahaman tentang penyeragaman bahasa dan dialek Qur’an ini dimulai. Isi Al Qur’an bukanlah sesuatu yang mudah dipahami, meski oleh bangsa Arab sendiri yang tentunya fasih berbahasa Arab. Dibutuhkan bimbingan, pengetahuan, dan renungan untuk memahami isinya secara utuh. Menerjemahkannya, apalagi menyadur ke dalam bahasa lain, sudah pasti tidak mampu menyampaikan pemahaman yang sesuai. Ini bukan dogma, melainkan suatu kenyataan. Oleh karena itu memahami Qur’an dalam bentuk aslinya menjadi suatu keharusan. Termasuk saat mengucapkannya saat shalat dengan lafal yang benar, dan tidak bisa dialihbahasakan. Lha wong bahasa Arab sendiri tidak mampu menerjemahkannya, apalagi bahasa Indonesia?
Saya punya pendapat berbeda tentang kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto perihal jajak pendapat tahun 1990. Kebetulan saya mengikuti peristiwa ini saat terjadi. Di mata saya, ini murni keteledoran karena tidak memikirkan dampaknya.
Bagaimana tentang izin mendirikan rumah ibadah? Saya sependapat dengan penulis buku yang prihatin dengan kondisi ini. Seharusnya masyarakat paham bahwa ini kaitannya dengan kebebasan melaksanakan ibadah, dan seharusnya pendirian rumah ibadah serta pelaksanaan ibadah tidak perlu menjadi masalah. Indonesia adalah negara yang memberi kebebasan kepada warganya untuk beragama dan beribadah. Indonesia pun adalah negara dengan keragaman suku dan agamanya, dan ini sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Jangan sampai bangsa ini terpecah-belah lagi hingga mudah diadu domba, sebagaimana dulu bangsa ini mudah takluk pada sebuah negara yang luasnya tidak sampai sebesar pulau Jawa selama tiga abad lebih.
Saya sangat mengajurkan kepada penulis buku Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook ini memahami prinsip-prinsip dasar suatu agama, dalam hal ini yang saya maksud adalah Islam. Ada banyak hal yang tidak bisa dilihat dengan ‘kacamata’ budaya lain, yang pada akhirnya tidak semudah itu memberikan kritik tanpa memahami esensi prinsipilnya.
Semoga Indonesia tetap mampu menjadi rumah bagi berbagai suku dan agama yang hidup rukun dan saling menghormati kebebasan beribadah sesuai agamanya masing-masing.

Komentar

Postingan Populer