PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN


JUDUL: PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
SUTRADARA: HANUNG BRAMANTYO
TAHUN: 2008
DURASI: 120 menit

Sutradara Hanung Bramantyo, yang sebelumnya sukses dengan film Ayat-Ayat Cinta (2008), hadir kembali dengan film tema sejenis. Berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta yang lebih 'soap opera', Perempuan Berkalung Sorban lebih banyak memotret kondisi dunia Islam di Indonesia yang lebih realistis. Naskah yang baik, akting para pemeran yang cukup meyakinkan, sinematografi yang memikat, dan sumbang lantunan suara Siti Nurhaliza, membuat film ini indah dan makin realistis. Mengapa realistis? Karena tema utamanya terjadi di sekitar kita, dan mungkin juga terjadi di banyak negeri berpenduduk Islam.

Tema utama Perempuan Berkalung Sorban adalah pertanyaan tentang hak perempuan dalam Islam. Benarkah perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki? Benarkah Islam membatasi hak-hak perempuan? Benarkah laki-laki superior terhadap perempuan, sehingga perempuan tak dapat memilih masa depannya sendiri? Benarkah Allah SWT dan Rasulallah mengatur posisi perempuan seperti yang sering kita dengar dan kenal?

Revalina S. Temat memerankan tokoh Annisa, seorang putri Al Huda pemilik pesantren Salafiah di kota kecil di Jawa Timur. Bungsu dari tiga bersaudara, dan putri satu-satunya, Annisa dibesarkan oleh kedua orang tua yang memelihara nilai-nilai Islam tradisional dimana posisi perempuan tidaklah istimewa. Banyak perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di lingkungan Annisa. Contohnya perempuan dilarang menjadi pemimpin, boleh mengeluarkan pendapat tapi tidak diperhatikan, dilarang melihat dunia luar, dll.

Semasa kecilnya Annisa berteman baik dengan Khudori sepupunya, diperankan oleh Oka Antara, yang juga pelajar pesantren orang tuanya. Bahkan Annisa menganggapnya kakak dan pelindung, walau ia memiliki dua orang kakak laki-laki. Khudori melanjutkan pendidikan ke Kairo dan keduanya kerap berkirim surat. Walau keduanya saling mencintai, mereka tidak berani mengungkapkan perasaan masing-masing.

Annisa dinikahkan kepada Samsudin, pemuda pilihan orang tuanya, sebagai tanda ikatan kekeluargaan antara orang tuanya dengan sahabat yang sering membantu keuangan pesantren. Kehidupan rumah tangga Annisa tidaklah bahagia. Suaminya kerap mabuk-mabukan, tidak pulang, bahkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga hingga memperkosa Annisa yang sedang haid. Puncak masalah tiba ketika datang seorang wanita mengaku istri keduanya.

Khudori pulang dari Kairo dan kembali ke pesantren. Annisa yang putus asa mengiba kepadanya untuk menikahinya. Samsudin menuduhnya melakukan zina dan menceraikan Annisa. Khudori dan Annisa berpisah, dan Annisa melanjutkan studi beasiswa ke Yogyakarta. Disana ia menemukan kepuasan bathin dan aktif dalam Lembaga Bantuan Hukum bagi para perempuan yang tertindas. Khudori menemukannya di Yogya dan akhirnya mereka menikah.

Kisah hidup Annisa berliku-liku dan mengalami pasang-surut. Ia diterima setengah hati oleh kedua kakaknya yang memimpin pesantren, walau ibunya menerimanya. Kakak sulungnya tak menerima usaha Annisa dalam memajukan pikiran para pesantren putri dengan buku-buku yang membuka wawasan. Annisa menjadi figur panutan bagi para pesantren putri dan gelombang ini meresahkan kakaknya. Apakah benar Islam mengekang kebebasan perempuan untuk maju? Tidakkah kedatangan Islam melalui Rasulallah juga membebaskan perempuan dari masa jahilliyah? Mungkinkah laki-laki menginterpretasikan ajaran Islam secara berbeda? Mungkinkah interpretasi tsb lahir sebagai bentuk ketidakinginan laki-laki diposisikan setara dengan perempuan? Mungkinkah ini contoh bahwa sesungguhnya umat manusia belum sepenuhnya keluar dari pemikiran jahilliyah?

Bagaimana akhir perjuangan hidup Annisa? Tentunya harus Anda saksikan sendiri.

Komentar

Anonim mengatakan…
“Bagi yang ingin menonton film ini, berangkatlah dengan anggapan bahwa kita akan melihat suatu tontonan dan bukan tunutunan.”’

isina ga islami bgt. klo film islami tu setidaknya pake AlQuran n Hadits bwt dasar pa yang dilakukan. bukan buku2 dr barat!
Cakrawala Senja mengatakan…
thx untuk komentarnya. Ya benar isi film ini tidak Islami banget. Dan benar salah satu kekurangan film ini adalah tidak adanya argumen dari tokoh Annisa (atau yg lain) untuk mempertanyakan pemahaman/ tindakan orang tuanya (atau gurunya) yang di mata Annisa tidak berpihak kepada perempuan. Akan lebih berimbang jika naskah dialog Annisa juga menggunakan ayat2 Qur'an dan hadits (boleh juga dgn tafsir) yg memposisikan kedudukan perempuan yg istimewa.

Oya, sepanjang yg saya perhatikan, buku2 yg digunakan Annisa untuk pencerahan bukan buku2 Barat. Itu semua karya sastrawan Indonesia. Kecuali jika ada yg saya terlewat melihatnya di layar, mohon maaf jika saya keliru.

"....kita akan melihat suatu tontonan, bukan tuntunan." Saya menyukai kutipan ini. Mudah-mudahan semua penikmat film ini, dan juga film lain pada umumnya, memiliki titik berangkat yang sama. Jika ingin tahu lebih banyak ttg tema utama ini, tentunya kita perlu mempelajari lagi Al Qur'an dan hadits agar mendapatkan pemahaman yang benar. Sebaiknya juga mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Rasulallah, keluarganya, dan para sahabatnya. Disana insya Allah kita bisa menjalankan Islam sebagaimana yang Ia perintahkan dan Rasulallah contohkan.
Cakrawala Senja mengatakan…
di Koran Tempo Minggu, 15 Februari 2009, penulis novel Perempuan Berkalung Sorban diwawancarai dan memberikan penjelasan ttg bukunya. Termasuk argumen dan pembelaannya terhadap banyak tudingan atau kritik pedas kepadanya. Menarik untuk dibaca agar penilaian kita menjadi lebih obyektif.

Postingan Populer